Mitos Matematika dan Implikasi Pembelajaran

Senin, 31 Maret 2008
Sejarah menunjukkan bahwa matematika dibutuhkan manusia. Dapatkah Anda membayangkan bagaimana dunia ini sekarang seandainya matematika tidak ada? Dapatkah Anda mendengarkan radio, melihat televisi, naik kereta api, mobil atau pesawat terbang, berkomunikasi lewat telepon atau Handphone (HP), dan lain sebagainya? Dapatkah Anda membayangkan kacaunya dunia ini seandainya orang tidak bisa berhitung secara sederhana, tidak bisa memahami ruang di mana dia tinggal, tidak bisa memahami harga suatu barang di suatu supermarket? Apa yang terjadi seandainya orang Malang mengatakan 7 + 5 = 12, sedangkan orang Surabaya berpendapat 7 + 5 = 75, atau kejadian-kejadian yang lain.

Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Sebab sesuai dengan gambaran di atas, ternyata matematika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Matematika selalu mengalami perkembangan yang berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Hal yang demikian, kebanyakan tidak disadari oleh sebagian siswa yang disebabkan minimnya informasi mengenai apa dan bagimana sebenarnya matematika itu. Dengan demikian, maka akan berakibat buruk pada proses belajar siswa, yakni mereka hanya belajar matematika dengan mendengarkan penjelasan seorang Guru, menghafalkan rumus, lalu memperbanyak latihan soal dengan menggunakan rumus yang sudah dihafalkan, tetapi tidak pernah ada usaha untuk memahami dan mencari makna yang sebenarnya tentang tujuan pembelajaran matematika itu sendiri.
Selama ini masyarakat memiliki persepsi (mitos) negatif terhadap matematika. Sebagaimana yang dikemukakan Frans Susilo dalam artikelnya di Majalah BASIS yang berjudul Matematika Humanistik, bahwa kebanyakan sikap negatif terhadap matematika timbul karena kesalahpahaman atau pandangan yang keliru mengenai matematika. Untuk memahami matematika secara benar dan sewajarnya, pertama-tama perlu diklarifikasi terlebih dahulu beberapa mitos negatif terhadap matematika. Beberapa di antara mitos tersebut, antara lain: pertama, anggapan bahwa untuk mempelajari matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang. Kebanyakan orang berpandangan bahwa untuk dapat mempelajari matematika diperlukan memiliki kecerdasan yang tinggi, akibatnya yang merasa kecerdasannya rendah mereka tidak termotivasi untuk belajar matematika.
Mitos kedua, bahwa matematika adalah ilmu berhitung. Kemampuan berhitung dengan bilangan-bilangan memang tidak dapat dihindari ketika belajar matematika. Namun, berhitung hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan isi matematika. Selain mengerjakan penghitungan-penghitungan, orang juga berusaha memahami mengapa penghitungan itu dikerjakan dengan suatu cara tertentu.
Mitos ketiga, bahwa matematika hanya menggunakan otak. Aktivitas matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan otak. Namun, logika dan kecerdasan saja tidak mencukupi. Untuk dapat berkembang, matematika sangat membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia seperti halnya seni dan sastra. Kreativitas dalam matematika menyangkut akal-budi, imajinasi, estetika, dan intuisi mengenai hal-hal yang benar. Para matematikawan biasanya mulai mengerjakan penelitian dengan menggunakan intuisi, dan kemudian berusaha membuktikan bahwa intuisi itu benar. Kekaguman pada segi keindahan dan keteraturan sering kali juga menjadi sumber motivasi bagi para matematikawan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru demi pengembangan matematika. Atau dengan kata lain untuk dapat mengembangkan matematika tidak hanya dibutuhkan kecerdasan menggunakan otak kiri saja, melainkan juga harus mampu menggunakan otak kanannya dengan seimbang.
Mitos keempat, bahwa yang paling penting dalam matematika adalah jawaban yang benar. Jawaban yang benar memang penting dan harus diusahakan. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain, dalam menyelesaikan persoalan matematika, yang lebih penting adalah proses, pemahaman, penalaran, dan metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan tersebut sampai akhirnya menghasilkan jawaban yang benar.
Mitos kelima, bahwa kebenaran matematika adalah kebenaran mutlak. Kebenaran dalam matematika sebenarnya bersifat nisbi. Kebenaran matematika tergantung pada kesepakatan awal yang disetujui bersama yang disebut ‘postulat’ atau ‘aksioma’. Bahkan ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran (truth) dalam matematika, yang ada hanyalah keabsahan (validity), yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang digunakan manusia pada umumnya.
Dari kelima mitos yang dikemukakan oleh Frans Susilo di atas merupakan sebagian kecil yang terjadi dalam masyarakat. Menurut hemat penulis, masih ada mitos-mitos lain yang terjadi di masyarakat. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, bahwa matematika itu tidak berguna dalam kehidupan. Kebanyakan masyarakat berpendapat seperti ini disebabkan selama menempuh pelajaran matematika di bangku sekolah, seorang Guru jarang (hampir tidak pernah) memberikan informasi mengenai penerapannya dalam kehidupan nyata. Kebanyakan Guru hanya memberikan materi yang berorientasi agar siswa dapat mengerjakan soal-soal dengan lancar dan mendapatkan nilai yang tinggi dan memuaskan.
Kedua, anggapan bahwa seorang lulusan jurusan matematika itu pasti menjadi Guru. Ketika pertama kali penulis kuliah di UIN Malang (mengambil jurusan Matematika), penulis sempat ditanya oleh banyak orang tentang jurusan apa yang dipilih. Lalu, dengan bangga penulis menjawab bahwa jurusan yang saya pilih adalah jurusan matematika. Spontan, orang tersebut berkata: “kalau begitu, besok anda akan jadi Guru ya?”. Belum tentu !, jawab saya. Setelah itu saya berfikir mengapa kok saya dinobatkan sebagai calon Guru, padahal keilmuan yang saya tekuni adalah matematika murni bukan pendidikan. Setelah berfikir lama akhirnya saya memaklumi omongan orang tersebut, karena memang selama ini matematika yang diwariskan oleh Guru kita adalah matematika yang tidak membumi atau matematika yang hanya ada pada selembar kertas putih yang penuh dengan rumus dan angka belaka.
Ketiga, Hal ini juga terjadi pada penulis sendiri, pernah suatu ketika ditanya oleh seorang teman sewaktu sekolah di MAN Lamongan yang sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya . Sekarang sudah semester berapa? Tanya teman saya yang kemudian saya jawab bahwa saya sekarang sudah semester VIII (waktu itu) yang sedang dalam menyelesaikan penelitian untuk skripsi. Teman saya bertanya lagi: Lho, kalau jurusan matematika itu skripsinya bagaimana, apa membuat rumus atau bagaimana?. Dengan semangat saya menjelaskan, bahwa skripsi matematika itu tidak berbeda dengan skripsi pada jurusan yang lain. Skripsi matematika dapat berbentuk berbagai model penelitian. Ada yang berupa aplikasi atau penerapan rumus, konsep, atau teorema dalam kehidupan nyata, misalnya pada ekonomi, pertanian, teknik, psikologi, dan lain-lain. Ada juga yang berupa kajian literatur, yakni mengkaji, menganalisis, membahas, suatu teorema, atau konsep yang masih perlu untuk dipecahkan. Dan masih banyak model-model lainnya yang pada intinya adalah sama saja dengan skripsi pada jurusan lainnya, karena pada hakekatnya skripsi itu adalah melakukan penelitian, di mana penelitian itu juga bisa dilakukan secara kuantitatif, kualitatif atau gabungan keduanya.
Melihat berbagai fenomena yang terjadi pada masyarakat di atas, maka mulai saat ini harus segera kita galakkan upaya bagaimana untuk memasyarakatkan matematika. Dalam artian bagaimana masyarakat itu mengetahui matematika secara utuh, sehingga tidak ada kepincangan informasi di masyarakat. Akar permasalahan yang menimbulkan matematika tidak memasyarakat, salah satunya disebabkan informasi yang diterima masyarakat bersifat parsial. Kepincangan informasi tersebut yang mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap matematika menimbulkan kesan negatif. Dengan demikian cara yang paling efektif menurut hemat penulis dalam rangka memasyarakatkan konsep matematika secara utuh adalah melalui siswa yang sedang belajar matematika di bangku sekolah. Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seharusnya proses pendidikan/pembelajaran matematika di sekolah itu diselenggarakan. Mungkinkah menghadirkan pendidikan matematika yang lebih manusiawi sehingga matematika tidak lagi dipandang sebagai momok yang menyeramkan?
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan pendidikan matematika di sekolah, pertama kali yang harus dilaksanakan adalah bagaimana menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika. Sebab tanpa adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar, dan kemudian menguasai matematika secara sempurna. Menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika akan sangat terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika di sekolah. Aspek-aspek itu menyangkut pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika, metode pengajaran, maupun aspek-aspek lain yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan proses pembelajaran matematika, misalnya sikap orang tua (atau masyarakat pada umumnya) terhadap matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Matematika sebenarnya memiliki banyak sisi yang menarik. Namun, seringkali hal tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus, angka, dan simbol belaka.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak dapat dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Dan pendekatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh apa yang diyakini paling baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas. Guru yang memandang matematika sebagai produk yang sudah jadi akan mengarahkan proses pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan cenderung mengisi pikiran siswa dengan sesuatu yang sudah jadi. Sementara, guru yang memandang bahwa matematika merupakan suatu proses akan lebih menekankan aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika. (Marpaung, 1998).
Akhirnya, yang menjadi permasalahan psikologis adalah bahwa pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur dan banyak “luka psikologis” yang diderita siswa berkaitan dengan pendidikan matematika. Untuk dapat menyembuhkan luka psikologis tersebut maka peran seorang guru sangat besar dalam hal ini, sehingga minat siswa terhadap matematika tumbuh subur kembali. Pendidikan matematika di sekolah hanya akan berlangsung dengan baik dan sampai pada tujuannya jika ada sinergi dari banyak pihak, seperti siswa, guru, orang tua, dan pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Antara saatu komponen dan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan dapat saling menginspirasi agar pembelajaran matematika di sekolah menjadi lebih menyenangkan, lebih mengasyikkan, lebih dinamis, dan humanis.
Dengan berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah ini, maka diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara parsial oleh siswa, guru, masyarakat, atau pihak lain. Melainkan mereka dapat memandang matematika secara “jujur” (baca: utuh) yang pada akhirnya dapat memacu dan berpartisipasi untuk membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Amin.


Abd. Halim FathoniAlumni Jurusan Matematika Konsentrasi Matematika Analisis, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Saat ini sebagai Sekretaris Eksekutif Lingkar Cendekia Kemasyarakatan (LACAK) Malang.

1 komentar:

Hidup Itu Ibadah mengatakan...

Sebenarnya Matematika itu sangat menyenangkan... Sayang penyampaian materinya selama ini (terutama saat saya sekolah dulu, entah sekarang ....) hanya bersifat teoritis, tidak langsung praktek. Apalagi matematika bisa kita temui di mana-mana...
Makanya saya salut dengan sistem pembelajaran yang langsung ke praktek, biar anak-anak kita tidak dijejali ilmu yang sifatnya teori saja...
Sukses untuk Pak Arik dkk di Raudlatul Jannah...

ShoutBox


ShoutMix chat widget
banner125125 d'famous_125x125 ads_box ads_box ads_box
 

How about Mathematics?

Followers